sofian sauri SEKEDAR BERBAGI TENTANG APA YANG SAYA KETAHUI

Minggu, 06 Oktober 2019

TUHAN , JANGAN PADAMKAN LENTERAKU


TUHAN , JANGAN PADAMKAN LENTERAKU


Aku rindu sinar hangat,
untuk melunakkan kedunguan yang mengeras.
Aku takut jika kau berjarak,
sebab kedunguan itu akan kembali mengeras.

Terang yang terpancar,
menuntun keluar dari lorong - lorong gelap.
Seraya jiwa ku tersenyum, jalanku tak lagi merangkak dan tertatih.
Kakiku kegirangan saat melangkah,

Tuhan, jangan padamkan lenteraku
Jiwaku gelap gulita tanpanya
Banyak cerita - cerita yang aku rindukan,
seperti cerita ikan mati hingga bunuh diri yang ikhlas.


Sofian Sauri
(Magelang, 2 Oktober 2019)


Menjaga akal dari kejumudan dan kebuntuan


(sumber gambar google.com)


Tanpa pikiran, kekuatan hanya besar saja
(Victor Hugo)

Akal menjadikan manusia itu mulia, Mahfudz Tejani mengatakan bahwa para ahli filsafat sepakat dengan "Al-insan hayawan natiq", Manusia adalah hewan yang berfikir, dari situ pasti kita sebagai manusia mampu menyimpulakan bahwasanya jika ada manusia yang berhenti atau menghentikan suatu aktifitas berfikirnya bisa dipastikan seseorang itu akan menjumpai masalah dalam dirinya, karena ia telah melawan apa yang menjadi hakikat dari hewan yang berfikir itu sendiri. Sesekali akan merasakan sebuah siksaan fikir,
‘’Bagaimana tidak’’ jika diibaratkan bahwa akal kita  seperti rambu – rambu lalulitas kemudian rambu rambu itu terhenti apakah yang akan terjadi? “tak lain pastilah kecelakaan lalu lintas”. Lalu apa yang harus dilakukan oleh seseorang supaya tidak masuk dalam kubangan kejumudan dan kebuntuan?
            Dalam diskusi rutin  Komisariat PMII Jogorekso yang dipantik oleh sahabat Pandu Dwi Handika bertepatan di kampus STAIA Syubbanul Wathon pada 02 Oktober 2019, ada hal – hal yang perlu di perhatikan dalam menjaga akal dari kejumudan dan kebuntuan.
Pertama membaca buku, sumber pengetahuan ini tidak mendadak muncul begitu saja di Zaman ini, melainkan sudah ada di masa – masa sebelumnya. Dengan membaca akal akan melakukan aktifitas berfikir, untuk menyimpulkan isi dalam bacaan tersebut.
Kedua melakukan dikusi, diskusi disini tidak harus serta merta formil, namun lebih menekankan aktifitasnya darisitulah aktifitas – aktifitas diskusi itu yang akan memnggerakkan akal kita untuk berfikir.
Ketiga review buku, mereview sebuah buku yang pernah kit abaca ternyata mampu untuk melatih ingatan kita, dalam mereview itu kita akan mengingat kembali kosakata – kosakata baru yang kita temukan dalam sebuah bacaan atau buku.
Keempat peka sosial,  pekasosial yang dimaksud disini kita hidup dalam lingkungan akademik, kepekaan social yang harus ditekankan adalah bagaimana kita mampu memposisikan diri kita sebagai mahasiswa  dalam menyandang agent of change apakah kita sebagai makhluk intelektual hanya akan, memandulkan begitu saja keintelektualan itu.
Masih ada banyak cara untuk menjaga akal kita dari kejumudan dan kebuntuan,yang saya paparkan dalam tulisan ini hanya segelintir saja untuk itu yang terpenting adalah istikomah dalam berdialektika, Sekian semoga bermanfaat.
Ilmu dan bakti kuberikan

#Salampergerakan

Oleh : Sofian Sauri (Wakil Ketua III PMII PK Jogorekso)
03 September 2019


Selasa, 17 September 2019

Lawan mafia Buku

Seruan solidaritas

Teman-teman pegiat literasi di seluruh Indonesia...

Seandainya Anda belum tahu, saya ingin meringkas kabar literasi ini, dan tolong disebarkan ke teman-teman pegiat literasi di seluruh Indonesia.

Sudah dua bulan ini, beberapa  pegiat literasi di Yogya getol melawan pembajakan. Mereka melaporkan pembajakan ke kepolisian. Tentu kita tahu, pembajakan merugikan dunia literasi dalam logika yang sangat sederhana.

Salah satu jangkar literasi adalah penerbitan berikut stakeholders-nya. Pembajakan buku merugikan penerbit sebab mereka tidak perlu membayar royalti, membayar pekerja (desainer sampul, penyunting, penerjemah, pemeriksa aksara, penata letak, dll).

Beberapa bilang bahwa pembajakan itu wujud demokratisasi wacana dan literasi di Indonesia. Tapi logika itu mudah dibantah. Dan mungkin tidak banyak yang tahu bahwa pembajakan hanya bisa dilakukan secara massif oleh mafia dan orang yang punya banyak uang. Di negeri ini sebagaimana di banyak negeri lain, orang yang punya uang cenderung menggenggam kekuasaan sekalipun bertindak (baca: berbisnis curang).

Di Yogya, para pegiat literasi ini mengalami teror dari mafia pembajak buku. Teror secara fisik maupun psikologis. Tapi mereka melawan. Mereka mencoba mengatasi rasa takut sebab harus ada yang bergerak untuk menuntaskan masalah pembajakan buku ini langsung di ujung produksinya, yang mana dikuasai oleh para pelaku kaya dan punya banyak uang.

Kalau pembajakan tidak dihentikan, penerbit-penerbit menengah dan kecil dijamin bakal mudah gulung tikar. Kalau mereka gulung tikar, berarti akan berimbas pada insan literasi lain, dan sekian banyak penulis tak terfasilitasi. Produksi buku menjadi sangat sedikit dan makin tak variatif. Imbasnya berlanjut ke toko buku fisik maupun maya.

Harus ada yang mencoba menghentikan apapun risikonya. Kini hal itu sudah ditempuh oleh 12 penerbit dari Yogya. Pihak kepolisian sudah menerima delik aduannya. Proses sudah dimulai.

Memang pembajakan buku bukan hanya terjadi di Yogya. Mesin-mesin cetak besar pembajakan buku ada di banyak kota di Indonesia: Jakarta, Malang, Surabaya, Semarang, Solo, dll.

Yogya mungkin mengawali dengan harapan ini akan menjadi gerakan nasional. Lalu apa yang bisa kita lakukan?

1. Berserikat. Bikin paguyuban atau apapun di kotamu. Lapor ke polisi jika menemukan ada indikasi mesin pembajakan dan penjualan buku bajakan.

2. Putus mata rantai distribusi buku bajakan. Laporkan rame-rame toko-toko onlen yang menjual buku bajakan baik di market place maupun yang berjualan lewat media sosial.

3. Kampanyekan gerakan antipembajakan kepada kawan-kawan kita, keluarga kita, kolega kita, kepada generasi penerus. Ajak mereka untuk membiasakan membeli dan membaca buku asli non-bajakan. Bangun kesadaran bersama bahwa industri buku di Indonesia sangat strategis bagi perkembangan dunia literasi di Indonesia.

Tidak semua poin di atas bisa kita kerjakan semua. Tapi rasanya, poin kedua dan ketiga bisa kita kerjakan.

Para pembajak buku di Yogya sudah mulai mengurangi jumkah buku bajakan. Sebagian dari mereka minta ada ‘musyawarah’. Mereka berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mereka, tentu dengan permintaan bahwa surat di kepolisian dicabut.

Kawan-kawan pejuang antipembajakan di Yogya sedang memikirkan hal ini apakah solusi yang baik atau tidak. Tapi apapun itu, sudah mulai ada dampak positifnya. Hanya, jika di Yogya mulai terjadi perbaikan, apakah di kota lain juga?

Dukungan kita semua diperlukan. Semoga senantiasa kita ingat, di balik sebuah buku yang kita baca, ada penulis yang bekerja keras memeras kreativitas mereka, ada sekian pekerja lain yang melakukan hal serupa, dan ada pihak penerbit yang ‘mempertaruhkan’ uang mereka. Banyak yang bangkrut. Tapi banyak juga yang bertahan dalam kesulitan.

Langkah kecil para pegiat buku Yogya ini semoga menjadi tonggak bagi tersingkirnya praktek gelap pembajakan buku di Indonesia. Itu semua tak akan bergerak ke mana-mana, tanpa andil Anda.

Dukung dan sebarkan!

17 September 2019

Syarikat Buku Yogya

@gentong_aksara

Powered By Blogger
sofiansauriga. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers